Sabtu, 25 April 2009

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT DI ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUMBAWA

Oleh : Dedi Syafikri
Email : fik_marine@yahoo.co.id

A. Latar Belakang
Saat ini Indonesia memasuki era baru dalam hal pengelolaan pemerintahan yaitu era desentralisasi atau lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah dimana masing-masing daerah (region) memiliki wewenang (otoritas) dan tanggung jawab dalam hal pemberdayaan dan pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Konsep desentralisasi ini tidak hanya terfokus pada urusan pemerintahan semata, namun juga sampai pada sistem dan tata cara atau pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah pemerintahan daerah (regional). Dengan digulirkannya Undang-undang otonomi daerah ini (UU No.22 Th 1999), maka penjabaran Pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang menyangkut aspek pengelolaan sumberdaya alam kini di desentralisasikan kepada tingkat regional atau daerah yang mana sebelumnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah pusat atau lebih bersifat sentralistis.
Lahirnya otonomi daerah di wilayah pesisir melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), telah memberi kewenangan bagi Pemerintah Provinsi untuk mengelola dan mengkoordinasikan pemanfaatan sumberdaya pesisir sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut. Pasal 10 UU NO. 22/1999 memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk mengelola sumberdaya pesisir sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi. Kewenangan ini meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, tata ruang, administrasi dan bantuan penegakan hukum, serta bantuan penegakan kedaulatan negara.
Namun sayangnya selama ini konsep desentralisasi atau otonomi daerah yang digulirkan selama ini selalu kita fahami sebagai otonomi darat semata, sehingga sebagian besar dari kebijakan-kebijakan pengelolaan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintahan difokuskan hanya pada pengelolaan sumberdaya daratan, padahal untuk Propinsi, Kabupaten dan Kota tertentu khususnya yang memiliki wilayah pesisir dan laut, terlebih lagi Propinsi, Kabupaten dan Kota yang berbentuk kepulauan sebagai contoh, NTB, NTT, Maluku, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Kepulauan Seribu dan Kabupaten Kepulauan Karimunjawa, esensi otonomi ekonomi juga berada di wilayah laut. Otonomi dalam konteks ini bukan hanya mengkavling darat adalah sebagai bahagian utama pembangunan, tetapi juga menyertakan wilayah laut dalam memetakan lokasi aktivitas eksplorasi dan eksploitasi baik di dalam perut bumi, dasar laut, laut dalam dan permukaan laut.

B. Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut Kabupaten Sumbawa
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai 17.480 buah dan garis pantai yang terbentang sepanjang 95.181 km. Saat ini merupakan garis pantai terpanjang ke-4 di dunia setelah Amerika, RRC, dan Federasi Rusia. Indonesia juga merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki stok/potensi kekayaan sumberdaya alam baik hayati maupun nir-hayati yang melimpah. Sebagian besar kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya terdapat di wilayah pesisir dan laut. Letaknya yang strategis di wilayah khatulistiwa yang beriklim tropis dan juga diapit oleh dua buah samudra yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (mega biodiversity).

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa sumberdaya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi khususnya pembangunan ekonomi yang berbasis kelautan bagi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya kelautan tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar masih terbuka sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang terus meningkat.
Kabupaten Sumbawa adalah salah satu kabupaten yang dimiliki Propinsi Nusa Tenggara Barat yang menyimpan potensi sumberdaya pesisir dan kelautan, baik hayati ataupun non-hayati yang cukup besar dan sangat menjanjikan untuk di kelola. Beberapa potensi tersebut diantaranya : perikanan tangkap, perikanan budidaya (budidaya kerapu, tiram mutiara, rumput laut), pariwisata (ekowisata bahari, budaya dan resources), eduwisata (taman nasional P. Moyo, kawasan konservasi karang dan mangrove P. Rakit, P Ngali), pelayaran dan transportasi laut lainnya, olahraga/sport (snorkeling, siling, diving, surving, dan fishing), lahan (space) dan sumberdaya pertambangan dan energi (gelombang, arus, OTEC, mineral, Geothermal energy dan angin) serta sumberdaya pulau-pulau kecil yang tersebar di perairan pulau Sumbawa (P Bungin , P Kaung, P . Medang , P. Moyo, P. Tete, dan P. Ketapang). Potensi ini bukan hanya menjadi aset lokal namun juga dapat dirasakan manfaatnya secara nasional jika dikelola dan dimanfaatkan dengan arif dan bijaksana.
Ada banyak hal mengapa masyarakat Sumbawa perlu sedikit merubah orientasi atau pola fikir yang semula (basic insting) pada sumberdaya daratan (land based orientation) kemudian beralih pada orientasi pengembangan sumberdaya pesisir dan kelautan (ocean based orientation) adalah diantaranya :
1. Sumbawa memiliki sumber daya pesisir dan laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitasnya
2. Sumbawa memiliki daya saing (competitive advantage) yang tinggi di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana dicerminkan dari bahan baku yang dimilikinya serta produksi yang dihasilkannya
3. Industri di sektor kelautan dan perikanan memiliki keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri-industri lainnnya
4. Sumber daya di sektor kelautan dan perikanan merupakan sumber daya yang selalu dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga bertahan dalam jangka panjang asalkan dikelola dan dimanfaatkan dengan arif dan bijaksana
5. Investasi di sektor kelautan dan perikanan memiliki efisiensi dan daya serap tenaga kerja yang relatif tinggi
6. Produk kelautan dan perikanan memilki prospek pasar yang baik dengan pangsa pasar yang luas dan terus meningkat baik sekala naisional maupun internasional
Kita dapat melihat beberapa contoh bagaimana keberadaan sumberdaya kelautan ini memberikan andil dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di kabupaten sumbawa misalnya :
1. Wisata bahari
Untuk kegiatan pariwisata khususnya wisata bahari, Sumbawa menyimpan potensi wisata yang sangat menjanjikan terutama keindahan panorama alam laut yang dimilikinya. Berbagai macam aktifitas pariwisata yang dapat dijual melalui kegiatan wisata alam laut ini misalnya snorkeling, siling, diving, surving, dan fishing. Adanya taman nasional P. Moyo dan beberapa kawasan konservasi karang dan mangrove di P. Rakit dan P. Ngali juga dapat diberdayakan sebagai aset untuk kegiatan pariwisata dan juga eduwisata. Keindahan dan panorama alam yang dimiliki Kabupaten Sumbawa tidak kalah jika dibandingkan daerah tujuan wisata lainnya seperti P. Bali dan P. Lombok. Letaknya yang strategis yaitu tepat pada pada lingkaran emas pariwisata P. Bali, P. Lombok, P. Komodo, dan Tana Toraja memungkinkan daerah ini dikembangkan sebagai salah satu tujuan wisata khususnya wisata bahari di Indonesia. Selain wisata alam laut Sumbawa juga memiliki aset-aset budaya yang dapat dijadikan wahana pariwisata misalnya seni budaya tradisional dan juga benda-benda purbakala peninggalan kuno. Dengan melihat potensi pariwisata yang ada maka peluang investasi untuk pariwisata masih sangat terbuka. Berikut beberapa objek wisata bahari yang dapat di kunjungi di kabupaten Sumbawa diantaranya : Pulau Bedil dan Keramat, Teluk Saleh (Saleh Bay), Pantai Ai Manis, Pulau, Moyo ( Moyo Island), Pantai Kencana, Saliper Ate.

2. Sektor perikanan (data DKP Kabupaten Sumbawa tahun 2007):
1) Sektor perikanan tangkap
Luas potensi wilayah perairan untuk usaha penangkapan ikan di Kabupaten Sumbawa setelah di keluarkan Kabupaten Sumbawa Barat adalah ± 8.977,6 Km2. Dari luas tersebut pada tahun 2007, telah dimanfaatkan seluruhnya dan diperoleh produksi sebesar 31.313,74 ton dengan jenis tangkapan yang dominan antara lain adalah jenis Ikan Tongkol, Cakalang, Tenggiri, Cumi-cumi, Layang, Kembung, Lemuru, Kerapu serta jenis-jenis iIkan Karang lainnya. Kegiatan usaha penangkapan ikan di Kabupaten Sumbawa seluruhnya dilakukan oleh nelayan (tidak ada investasi perusahaan penangkapan ikan), dengan jumlah nelayan 6.749 orang.
2) Perikanan budidaya laut
Potensi areal untuk pengembangan budidaya laut kabupaten Sumbawa adalah sebesar 24.980 Ha dengan potensi produksi sebesar 39.600 ton/tahun. Tingkat pemanfaatan sampai tahun 2007 sebesar 7.196,93 Ha (28,81 %) dengan produksi sebesar 10.906.5 ton (27,54 %). Jenis komoditas yang diusahakan antara lain Mutiara, Ikan Kerapu, dan Rumput Laut.
a) Budidaya mutiara
Potensi areal pemanfaatan untuk Usaha Budidaya Mutiara di Kabupaten Sumbawa adalah ± 5.700 Ha. Sampai dengan Tahun 2007, potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar ± 1.922 Ha (33,72 %) dengan total produksi sebesar 354 Kg. Kegiatan Usaha Budidaya Mutiara di Kabupaten Sumbawa seluruhnya dilakukan oleh perusahaan swasta pada 10 kecamatan yaitu Kecamatan Alas Barat, Alas, Utan, Rhee, Lab. Badas, Moyo Hilir, Lape, Plampang, Tarano dan Kec. Labangka. Hingga Tahun 2007 jumlah perusahaan swasta yang bergerak pada Usaha Budidaya Mutiara di Kabupaten Sumbawa adalah sebanyak 18 perusahaan (aktif berproduksi 10 perusahaan, tidak aktif 5 perusahaan dan dalam persiapan 3 perusahaan) dengan total investasi modal sebesar Rp. 17.356.409.000,- .
b) Budidaya rumput laut
Kegiatan Usaha Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa merupakan jenis usaha budidaya yang cukup berkembang dengan baik, mengingat luas areal yang dapat dimanfaatkan cukup besar yaitu ± 13.950 Ha. Sampai dengan Tahun 2007 pemanfaatan potensi lahan (areal perairan) untuk Usaha Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa sekitar 5.028,93 Ha ( 36,00 %) dengan total produksi sebesar 10.449 ton ( basah ). Jumlah perusahaan swasta (aktif) yang bergerak dalam bidang Usaha Pengumpulan, pembelian dan pemasaran Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa hingga Tahun 2007 sebanyak 9 perusahaan (aktif 5 perusahaan dan tidak aktif 4 perusahaan) dengan total investasi Rp. 2.407.750.000,- Perusahaan–perusahaan tersebut telah melakukan kemitraan usaha dengan para pembudidaya rumput laut yang berjumlah 1.542 orang (KK).
c) Budidaya kerapu
Kegiatan Usaha Budidaya Ikan Kerapu di Kabupaten Sumbawa memiliki luas potensi areal pemanfaatan adalah ± 1.200 Ha, akan tetapi hingga Tahun 2007 pemanfaatan areal yang telah dilakukan masih sangat kecil yaitu sekitar 246 Ha (20,5 %) dengan produksi 103,5 ton. Jenis usaha budidaya ini pun di Kabupaten Sumbawa seluruhnya dilakukan oleh perusahaan swasta sebanyak 7 (tujuh) perusahaan dengan jumlah investasi Rp. 2.050.000.000,- .
Mengingat sistem yang diterapkan disebagian besar usaha budidaya yang ada di kabupaten Sumbawa saat ini masih menggunakan teknologi yang sederhana, maka saya rasa potensi ini masih dapat ditingkatkan yaitu dengan menerapkan berbagai metode dan teknologi budidaya, mulai dari penggunaan bibit unggul, penambahan jenis atau farietas yang dibudidayakan, meningkatkan mutu produksi, informasi pasar yang jelas, jaminan keamanan dan hukum yang jelas bagi para pelaku budidaya (investor), regulasi dan kebijakan perpajakan yang lebih atraktif, serta menerapkan IPTEK dalam segala aspek budidaya. Dengan demikian saya rasa dengan sendirinya jumlah pendapatan dan juga infestasi yang diperoleh melalui aktifitas budidaya ini akan meningkat.

C. Identifikasi Permasalahan

Potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang begitu besar dimiliki kabupaten Sumbawa ini belum dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini dapat kita buktikan dengan; Pertama jika kita melihat sekilas kehidupan masyarakat nelayan yang hidup di pesisir pulau Sumbawa ini, seperti halnya kehidupan nelayan di pesisir Indonesia umumnya mereka sebagian besar hidup dengan tingkat pendapatan, kesejahteraan dan juga pendidikan yang relative lebih rendah dibandingkan masyarakat Sumbawa umumnya yang berpropesi sebagai petani dan sebagian kecil pedagang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Ahmad Fauzi, salahah satu analis dalam bidang ekonomi perikanan IPB menyebutkan bahwa hampir sebagian besar nelayan kita hidup di bawah garis kemiskinan khususnya nelayan bersekala kecil (perikanan pantai) dengan pendapatan perkapita per-bulannya di bawah 10 US$, maka jika dilihat dalam konteks Millennium development goal, pendapatan sebesar itu tergolong ke dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari 1 US$ per-harinya. Kedua jika kita melihat infrastruktur yang mendukung kelancaran aktivitas atau kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan SDA pesisir dan laut ini masih sangat minim. Baik itu berupa Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), jenis alat dan armada tangkap yang digunakan nelayan setempat, dermaga pendaratan ikan serta ketersediaan Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) bagi nelayan.
Belum jelas apa yang menjadi permasalahan utama yang mengakibatkan terjadinya hal ini, apakah karena stock sumberdaya alam lautnya yang menipis karena keserakahan manusia (over exploitation), kebijakan dan system manajemen pengelolaan dan pemanfaatannya yang masih belum memadai atau sebaliknya masyarakat belum mengenal dengan baik serta mengetahui dimana sumberdaya tersebut berada sehinga tidak dapat terkelola dengan optimal. Namun demikian menurut saya ada beberapa hal pokok yang mengakibatkan sumberdaya alam pesisir dan laut yang dimiliki kab. Sumbawa sampai saat ini belum terkelola dan termanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan adalah sebagai berikut :
1. Belum adanya penataan ruang pesisir (RTP) dan kelautan serta peta potensi sumberdaya pesisir dan kelautan yang jelas yang dapat dijadikan acuan dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut
2. Kurang optimalnya perananan lembaga/istitusi pemerintahan yang terkait dengan upaya pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
3. Masih minimnya kemampuan sumberdaya manusia terkait dengan sumberdaya kelautan dan perikanan baik dari segi kemampuan teknis maupun manajerial
4. Ketersediaan data (data based) dan informasi perikanan kelautan yang masih belum optimal, baik dari instansi pemerintah kepada pelaku usaha (swasta dan masyarakat) ataupun sebaliknya
5. Pengelolaan yang masih bersifat sektoral. Masing-masing instansi memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda dalam mengelola kawasan pesisir dan laut
6. Minimnya wahana, sarana dan prasarana untuk dapat mendukung penerapan dan pendayagunaan teknologi perikanan kelautan
7. Kurangnya jaminan keamanan dan jaminan hukum bagi para investor yang hendak berinvestasi (kasus pada budidaya mutiara)
8. Informasi dan pangsa pasar yang masil belum jelas
9. Standar dan pengendalian kualitas sekaligus harga hasil produksi yang cenderung tidak stabil (kasus pada budidaya mutiara dan rumput laut)
10. Kerjasama institusi pemerintah dengan swasta dan masyarakat sebagai pelaku usaha kurang terjalin harmonis.
Jika kita melihat permasalah di atas memang cukup kompleks. Untuk itu dibutuhkan suatu regulasi atau sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut yang memadai yang dapat mengakomodir segala macam konflik dan permasalahan dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatannya. Terlebih lagi dengan terbitnya UU No. 22 Th 1999 yang mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan memberikan jalan dan peluang (otoritas) bagi daerah untuk dapat memberdayakan segala macam potensi termasuk sumberdaya pesisir dan laut yang dimilikinya sekaligus juga mengisyaratkan tanggungjawab dan sikap kemandirian serta partisipasi daerah untuk dapat lebih aktif dalam perkembangan dan pemerataan pembangunan. Dalam UU ini pula dijelaskan pembegian wilayah yang menjadi wewenag Propinsi dan Kabupaten/Kota, (pasal 10) dimana untuk wilayah propinsi memiliki hak untuk mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai. Sedangkan untuk wilayah kabupaten/kota memiliki hak pengelolaan sejauh 4 mil atau seper-tiga dari kewenangan propinsi. Hak atau wewenang pengelolaan ini adalah meliputi, eksplorasi, eksploitasi dan konservasi serta pengelolaan kekayaan sumberdaya alam laut. Dengan demikian UU ini secara lansung maupun tidak memberikan dampak pada aktivitas perikanan dan kelautan. Untuk itu maka masing-masing daerah yang memiliki wewenang pengelolaan wilayah laut baik propinsi maupun kabupaten/kota termasuk kabupaten Sumbawa dituntut harus memiliki peta lintas batas (batasan wilayah) yang dijadikan acuan dan regulasi dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatannya misalnya penentuan jenis serta type pemanfaatan yang diberlakukan. Pemerintah daerah juga bertanggungjawab penuh atas keberadaan dan kelestarian sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir dan laut yang dimilikinya, sehingga pemanfaatannya dapat berlansung secara berkelanjutan (sustainability). Selain itu UU ini juga memberikan peluang dan kesempatan yang lebih terbuka kepada masyarakat khususnya nelayan untuk dapat pemanfaatan sumberdaya kelautan. Namun juga sering terjadi prespektif dan pemahaman yang salah di kalangan masyarakat khususnya para nelayan sehingga dapat memicu timbulnya konflik.
Terbitnya undang-undang otonomi daerah No. 22 Th 1999 ini memberikan dampak positif berupa kejelasan akan hak-hak yang dimiliki daerah otonom, namun tidak serta merta memberikan dampak yang signifikan dalam hal jumlah pendapatan yang diterima daerah dari hasil pemanfaatannya terhadap sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan dan kelautan. Sebagai contoh pada tahun yang sama pemerintah juga mengeluarkan Undang-undang No. 25 Th 1999 yang mengatur tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, perimbangan yang dimaksud disini adalah pembagian pendapatan yang didapat dari upaya pemanfaatan sumberdaya alam oleh daerah termasuk di dalamnya sumberdaya perikanan dan kelautan, dimana pada salah satu pasalnya menyebutkan bahwa “penerimaan negara dari sumberdaya alam (SDA) sektor perikanan dibagi dengan imbalan 20 persen untuk pemerintah pusat dan 80 persen untuk pemerintah daerah”. Artinya dari hasil pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang dimilikinya, kabupaten Sumbawa hanya mendapatkan 80%nya. Tidak cukup sampai disini bahkan 80 % alokasi pendapatan untuk daerah ternyata bukan hanya untuk daerah yang bersangkutan (daerah yang memiliki kewenangan atas wilayah laut) dalam hal ini kabupaten Sumbawa namun juga dibagi secara merata kepada seluruh daerah kebupaten/kota di Indonesia. Undang-undang ini juga menimbulkan konflik antar daerah, baik antar kabupaten/kota, kabupaten/kota dengan propinsi bahkan pemerintah daerah dengan pusat.

D. Tawaran Solusi

Kompleksitas permasalah yang muncul dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut ini tidak hanya terjadi di kabupaten Sumbawa, namun secara umum juga dirasakan oleh pemerintah daerah lain di Indonesia yang memiliki wewenang pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut. Untuk itu dibutuhkan kerjasama semua pihak termasuk pemerintah (pemangku kebijakan), swasta dan masyarakat (user) untuk turut serta dan berperan aktif dalam upaya mencari solusi dan jalan keluar yang tepat yang bisa mengakomodir dan memecahkan permasalaha yang ada. Salah satu solusi yang mungkin bisa diterapkan misalnya mengembangkan konsep pengelolaan pesisir terpadu (Integrated Coastal Management/ICM). Konsep ini merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, berbagai tingkat pemerintahan, ekosistem darat dan laut, serta sains dan manajemen. Pendekatan yang dilakukan dalam konsep ini dimulai dengan menerapkan keterpaduan perencanaan yang menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, sosial budaya serta konservasi sumberdaya pesisir dan laut. Selain rencana tata ruang wilayah (RTRW) juga dibutuhkan pula rencana tataruang pesisir (RTP) dan laut serta peta potensi pesisir dan laut yang dapat digunakan sebagai pijakan dasar sekaligus arahan dan acuan dalam penataan ruang dan pemanfaatan potansi sumberdaya pesisir dan laut di kabupaten Sumbawa.

Pola pengelolaan yang selama ini digunakan pemerintah yang cenderung bersifat dari atas ke bawah (top down) sering kali tidak tepat sasaran kemudian berakhir pada kegagalan. Untuk itu pola-pola pengelolaan dan pemanfaatan yang berbasis masyarakat (melibatkan partisipasi masyarakat) juga sangat relefan untuk dapat direpkan. Dengan terlibatnya masyarakat dalam manajemen pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut diharapkan akan timbul kesadaran, kepudulian, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab dari setiap individu masyarakat terhadap SDA yang ada. Selain itu jika kita menyimak pesan yang tersirat dalam UU Otonomi daerah dimana masyarakat dan daerah diberikan kewenangan (otoritas) yang luas dalam mengelola dan mengambil manfaat dari ketersediaan sumberdaya alam yang dimilikinya serta diberikan tanggungjawab penuh dalam menjaga kelestariannya. Artinya masyarakat dan pemerintah daerah secara tidak lansung dituntut untuk memiliki kemandirian dalam rangka membangun daerahnya sendiri serta turut serta berpartisipasi dalam mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan (sustainable development).


Tidak ada komentar: